Rabu, 25 Februari 2009

MASALAH GIZI DI INDONESIA

Di baagian dunia yang sudah berkembang, sebagian besar penduduk mengalami berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh kelebihan berat badan dan obesitas. Sedangkan di bagian lain dunia yang lebih miskin gizi buruk masih merupakan masalah utama.Gizi buruk tidak hanya berdampak pada kesehatan seseorang secara pribadi, tapi juga mengurangi kemampuan masyarakat untuk kelluar dari kemiskinan. Gizi buruk mengurangi kemampuan seseorang untuk bekerja dan juga mengurangi kemampuan anak-anak untuk belajar disekolah – sering tidak kesekolah karena sakit - mengurangi tingkat kesehatan dan menjadi terlalu lelah untuk bekerja dan belajar dengan baik. Diperkirakan bahwa gizi buruk dapat menghabiskan biaya suatu Negara sebanyak 2-3% dari produk domestic bruto (“Repositioning Nutrition as Central to Development: A Strategy for Large-Scale Action,” published by the World Bank in 2006).Perempuan dan anak-anak adalah yang biasa dan umumnya mengalami gizi buruk – bumil menghadapi resiko yang tinggi untuk kehilangan bayi mereka, perempuan dan anak meninggal pada saat proses melahirkan, atau bayi yang lahir dengan kecacatan fisik mau pun mental. Gizi buruk memberikan sumbangan 56%untuk kematian dari 11 juta anak diseluruh dunia karena sebab yang sebenarnya dapat dicegah sebelum mereka mencapai ulang tahunnya yang ke lima.Di Indonesia, salah satu Negara di Asia Tenggara, walau pun tingkat kemiskinan mulai berkurang, namun tetap ada daerah2 dimana kurang gizi masih menjadi masalah utama. Protein – energi untuk kurang gizi – menyebabkan anak-anak kekurangan berat badan, pertumbuhannya lambat dan lebih rentan terhadap infeksi, berpengaruh terhadap 2 dari 5 anak dibawah lima tahun, dan kekurangan zat besi, yodium serta vitamin juga merupakan masalah. Penyakit2 daerah tropis seperti malaria, demam berdarah, TBC dan infeksi usus juga sering terjadi terutama di daerah-daerah miskin.Penyebab tingginya angka kurang gizi di Indonesia cukup kompleks. Terkadang masalahnya adalah kurangnya makanan yang tersedia atau pilihan untuk tidak mengkonsumsi variasi makanan dengan nilai gizi yang cukup. Masyarakat di daerh yang miskin umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan sebagian lagi memiliki kesadaran yang rendah tentang pentingnya variasi makanan, terutama untuk anak-anak. Nasi adalah makanan pokok dan didaerah yang miskin masyarakat sangat tergantung, lebih mengutamakan rasa kenyang namun menu kurang variatif untuk kecukupan gizi. Di daerah lainnya, bahkan nasi juga jarang didapat, perubahan iklim, cuaca yang sulit diprediksi dan bencana alam mempengaruhi pertumbuhan tanaman, dan banyak keluarga yang tidak mampu membeli makanan jika tanaman mereka – satu2nya sumber pendapatan mereka – gagal. Sanitasi yang buruk juga merupakan masalah umum di daerah dengan ketersediaan air yang terbatas dan berpengaruh terhadap infeksi usus dan kurang gizi – dapat menyebabkan diare.System kesehatan di Indonesia bagus termasuk tenaga kesehatan (tenkes) di puskesmas dan system yang mengharuskan adanya pelatihan untuk bidan di setiap desa, melaksanakan klinik bulanan (posyandu) untuk memantau berat badan ibu dan bayi, memberikan imunisasi dan makanan bergizi dan saran megenai gizi. Bagaimanapun Indonesia adalah Negara dengan lebih dari 200 juta penduduk yang tersebar di lebih dari 16000 pulau, dan di beberapa daerah layanan kesehatan kurang memadai dibandingkan daerah lainnya. Di beberapa daerah di Indonesia, jalannya dalam kondisi yang buruk, atau bahkan tidak ada jalan, membuat desa2 terpencil kesulitan untuk mencapai rrumah sakit dan pusat layanan kesehatan ketika dibutuhkan, dan kalau pun ada jalan, biaya transportasi mahal dan tidak menentu (jadwalnya). Di beberapa daerah masalah lainnya adalah masyarakat yang masih memegang kepercayaan/tradisi – percaya pada obat-obatan tradisional, dan masalag gender menyebabkan perempuan kesulitan untuk mengambil keputusan mengenai kesehatan tanpa ijin dari suami mereka.Ahli gizi, Zoe Connor menghabiskan waktu 9 bulan di Indonesia tahun 2007 sebagai konsultan gizi sukarela pada membantu organisasi loka Yayasan Ayo Indonesia (http://www.ayoindonesia.org/) disebuah kota pegunungan Ruteng, di pulau Flores, diwilayah yang propinsi NTT yang merupakan propinsi termiskin di Indonesia. Pekerjaan Ayo Indonesia termasuk bidang kesehatan, pertanian, pembanngunan jalan, membangun jaringan air bersih dan memperbaiki pekerjaan kelompok local. Mereka bekerja termasuk memberikan pelatihan kepada masyarakat local dam memberdayakan masyarakat diwilayah Manggarai dan Manggarai Barat. Bagian dari program kesehatan Ayo Indonesia termasuk didalamnya melatih kelompok2 perempuan local untuk menanam sayuran, pelatihan untuk hidup sehat, mengatur keuangan dan bekerja sama dengan tenaga kesehatan setempat untuk memperbaiki kesehatan ibu dan anak. Yayasan Ayo Indonesia juga terlibat dalam proyek penelitian internasional yang meneliti hubungan antara akses jalan yang buruk dengan kesehatan


Kongres IUNS (International Union of Nutrition Science) ke-33, Vienna 2001,
menyatakan bahwa abad ke-20 adalah the golden age (era keemasan) untuk
perkembangan ilmu gizi, karena sebagian besar penemuan di bidang gizi terjadi
pada abad ini. Ironisnya masalah kekurangan gizi di negara berkembang, memasuki
milenium baru ini, justru menembus level di atas ambang normal.
Fenomena ini jika diaplikasikan di Indonesia, bisa menjadi semacam sindiran
atau skeptisme terhadap
perkembangan ilmu dan program gizi di Indonesia. Mengapa? Meskipun ilmu dan
program gizi sudah lebih dari setengah abad dikembangkan di Indonesia (sejak
Lembaga Makanan Rakyat tahun 1950-an), tetapi masalah gizi salah, khususnya
gizi kurang, masih tidak juga teratasi dengan tuntas. Yang menja- di
pertanyaan, lalu di mana peran ilmu gizi dan para pakarnya?
Kemajuan ilmu gizi memunculkan perubahan paradigma dalam konsep dan strategi
penanggulangan masalah gizi salah (baik gizi kurang maupun gizi lebih).
Perubahan
paradigma ini mengikuti perkembangan ilmu gizi yang menurut Martorell (2000),
pendulumnya bergeser dari aspek kualitas pangan (protein) tahun 1950-an ke aspek
kuantitas (energi) tahun 1970-an, kemudian bergeser lagi ke arah kualitas di
tahun 1990-an. Kali ini tekanannya tidak lagi pada protein, tetapi pada vitamin
dan mineral (zat gizi mikro).
Pergeseran pendulum Martorell ini didasarkan atas perubahan kebijakan dan
program gizi yang sering
terjadi sejak tahun 1950-an. Pergeseran ini diakibatkan perkembangan
teori-teori kebutuhan zat protein yang berbeda-beda.
Mula-mula kebutuhan protein anak usia satu tahun ditetapkan 3,3 gram per
kilogram berat badan. Tahun 1970-an diturunkan menjadi 2,0 sampai akhirnya
(sampai sekarang) 1,2 gram per kilogram berat badan per hari.
Banyak Protein
Perkembangan ilmu gizi yang dapat dikatakan sangat sederhana tahun 1930-an
menumbuhkan adanya mitos di kalangan ahli gizi sampai tahun 1970-an (bahkan di
Indonesia sampai sekarang) bahwa untuk hidup sehat dengan optimal, badan
memerlukan banyak protein. Kelebihan protein dibakar menjadi energi.
Dalam praktiknya anjuran itu diterjemahkan dengan menganjurkan masyarakat makan
daging, telur, dan susu. Tahun 1950-an sampai sekarang, persepsi yang terbangun
di kalangan awam adalah bahwa makanan sehat itu lebih diartikan pada cukupnya
daging, telur, dan minum susu.
Program gizi yang dikenal dengan ANP (Applied Nutrition Program) yang
disponsori FAO, di Indonesia diadopsi menjadi UPGK (Usaha Peningkatan Gizi
Keluarga) pada tahun 1950-an yang menekankan pentingnya mengkonsumsi daging
ternak unggas, minum semua susu binatang berkaki empat dan sebagainya. Bahkan
di kalangan ahli teknologi pangan diciptakan adanya daging buatan dengan
protein concentrate di tahun 1960-an. Arah UPGK berubah penekanannya pada
energi setelah Prof Sayogyo di awal tahun 1973 di dalam studi evaluasi ANP
menemukan bahwa rumah tangga yang kekurangan energi lebih banyak daripada yang
kekurangan protein.
Ha sil analisa Prof Sayogyo sejalan dengan data dari negara lain, khususnya
India oleh Sukhatme. Perdebatan tentang protein ini memuncak setelah McLaren
menulis artikel tentang "Protein Fiasco" di jurnal medik Lancet tahun 1974.
Sejak itu di kalangan pakar gizi mulai diketahui bahwa protein bukan
segala-galanya. Dan pendapat ini mendorong bergesernya pendulum ke keseimbangan
protein dan kalori, bahkan kemudian juga dengan vitamin dan mineral.
Tahun 1990-an pendulum bergerak lagi ke kiri dengan perhatian pada masalah gizi
mikro (vitamin dan mineral) dengan sayuran dan buah-buahan menjadi bintang.
Tidak saja kaya akan vitamin dan mineral, tetapi sayur dan buah-buahan juga
kaya akan zat anti oksidan, yang baru ditemukan pada tahun-tahun itu. Sejak
saat itu para pakar gizi mulai sadar akan pentingnya, keseimbangan semua zat
gizi dan non-gizi dalam suatu pola makan dengan gizi seimbang (balance diet).
Suatu hal yang banyak tidak disadari bahwa sampai saat ini di Indonesia dalam
membuat kebijakan dan program gizi masih terpaku pada pendulum tahun 1950-an
yang berpusat pada protein. Segala sesuatu yang berlabel gizi dikaitkan dengan
protein.
Akibatnya sampai sekarang Indonesia tidak memiliki daftar komposisi makanan
untuk vitamin dan mineral yang lengkap. Demikian pula kita masih miskin data
masalah gizi mikro seperti defisiensi seng, asam folat, selenium dan lain
sebagainya.
Pranata Sosial Perkembangan sosial ekonomi dan politik, turut mewarnai berbagai
kebijakan gizi. Terlebih pascakrisis, kondisi tersebut telah merubah bahkan
meniadakan keberadaan pranata sosial di pedesaan seperti PKK, posyandu,
dasawisma beserta perangkat desa yang mendukung pranata sosial tersebut seperti
bidan di desa, PLKB, PPL, kader gizi, dan lain sebagainya.
Padahal selama dasawarsa 1980-an mereka pegang peranan dalam menopang fungsi
posyandu dalam
melindungi anak miskin dari risiko gizi buruk. Maraknya gizi buruk anak balita
di beberapa daerah
sejak tahun 1998 tak bisa dilepaskan dari faktor hilangnya pranata sosial
dengan tenaga pendukungnya
tersebut.
Kebutuhan Dasar
Dampaknya antara lain posyandu tidak lagi berfungsi sebagaimana seharusnya.
Perkembangan demokrasi dan otonomi daerah kian mempersempit akses rakyat untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti air bersih, pelayanan kesehatan dasar juga
pendidikan. Karena itu tidak mengherankan apabila masalah gizi kurang dan gizi
buruk masih terus menghantui.
Perubahan situasi sosial, ekonomi dan politik pasca krisis di dalam berbagai
wacana di media massa berdampak pula pada penurunan potensi kemampuan
intelektual bangsa termasuk di bidang gizi.
Hal ini terlihat dari cara-cara kita menghadapi masalah gizi buruk beberapa
waktu lalu yang semrawut tanpa konsep perencanaan yang jelas.
Meskipun pendulum ilmu dan program gizi sudah bergeser 3-4 kali, konsep masalah
kurang gizi masih terpaku pada pendulum tahun 1950-an yaitu kurang protein dan
susu. Contoh lain dunia telah lebih dari sepuluh tahun mengikuti pendulum
keseimbangan gizi dengan menerapkan pedoman gizi seimbang, tetapi masyarakat
Indonesia termasuk kelompok intelektualnya masih menikmati pedoman empat sehat
lima sempurna.
Harus diakui, kita serba ketinggalan, terutama dalam penelitian berbobot di
jurnal gizi internasional. Bahkan di tingkat Asia pun kita sudah kedodoran jika
dibanding dengan pusat-pusat ilmu gizi di Negara-negara seperti India, Vietnam,
Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina.
Kondisi sosial ekonomi rakyat yang belum membaik juga merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap kronisnya masalah gizi di Indonesia. Keadaan ini
diperparah oleh sikap dan perilaku sebagian elite pemimpin negeri yang tidak
memihak kepada rakyat banyak.

2 komentar: